Indonesia memiliki banyak gunung berapi sehingga sangat wajar jika bencana gunung meletus/erupsi yang terjadi di Indonesia seringkali kita dengar melalui berbagai berita, baik melalui media cetak atau elektronik. Berbagai cara kita memberikan bantuan melalui kantung-kantung rekening yayasan amal atas donasi yang ingin kita salurkan.
Entahlah, mengapa ketika kita mendengar terjadinya erupsi Gunung Semeru yang terjadi di awal Desember 2021, terenyuh hati ini dan tergerak untuk menyegerakan memberikan bantuan secara langsung kepada pengungsi dan masyarakat yang terdampak.
Mungkinkah karena erupsi tersebut yang terjadi terlalu cepat, sehingga mengakibatkan drama evakuasi yang dirasakan cukup menegangkan atau juga karena pengungsi-pengungsi yang berjuang antara hidup dan mati untuk menyelamatkan dirinya dan keluarga? Sebut saja cerita Vida atau Rumini atau nama-nama lain yang belum terpublikasikan di media.
Dan benar saja, ketika kami tim Relawan Ubaya terjun langsung untuk menyalurkan donasi yang telah dikumpulkan dari segenap Ubayatizen, Yayasan Ubaya, Civitas Akademika Ubaya, Forum Komunikasi Karyawan Karya Gellis, Mahasiswa Pecinta Alam Ubaya (Mapaus), Ikatan Alumni Ubaya (IKA Ubaya), dan Satujiwa Ubaya, kami sungguh miris sekaligus takjub. Kami takjub begitu tingginya antusias seluruh masyarakat Indonesia untuk membantu korban bencana erupsi Semeru, berbagai donasi dengan jenis yang beragam berdatangan ke lokasi yang terdampak. Namun, kami miris juga apakah ratusan donasi tersebut sudah sesuai dengan standar penyimpanan?
Pagi itu, hari Jumat tanggal 17 Desember 2021, Relawan Ubaya mulai melakukan misinya untuk menyalurkan donasi ke pengungsi dan masyarakat terdampak erupsi Gunung Semeru. Misi kami saat itu tidak hanya menyalurkan donasi langsung ke pengungsi dan masyarakat terdampak saja, namun kami juga melakukan trauma healing untuk anak-anak dan pengungsi dewasa. Benar saja, kami mendengarkan berbagai cerita dari mereka.
Sebut saja Pak Ikhsan, beliau bertempat tinggal di Karangbendo, Candipuro, Lumajang. Ketika itu, istrinya sedang berjaga di toko kelontongnya. Diluar toko hujan begitu derasnya seakan-akan membuat orang akan enggan keluar rumah. Namun tiba-tiba ada seorang perempuan yang datang membeli air minum, dengan tubuh penuh debu karena abu vulkanik. Yach….. putih semua tubuh perempuan itu. Seketika, istri Pak Ikhsan tergerak hatinya sekaligus menanyakan apakah sedang mengungsi dan rencana akan tinggal dimana apabila tidak mempunyai tempat tinggal sementara ditawarkan untuk tinggal di rumahnya yang masih kosong. Perempuan itu tidak tahu harus tinggal dimana dan saat ini keluarganya sedang duduk-duduk di teras sekolah SD. Dan gayungpun bersambut, perempuan tersebut bersedia menerima tawaran tersebut dan tinggal di rumah Pak Ikhsan.
Lain halnya dengan cerita keluarga yang tinggal di rumah Pak Sudarman. Nenek yang berusia 70 tahun itu selama hidupnya tidak pernah merasakan erupsi Semeru sedasyat itu. Sambil menghela nafas dan berharap bisa kembali ke rumahnya lagi, nenek tersebut dan keluarganya berharap segera usai penderitaan tersebut. Mereka sekeluarga juga malu jika setiap hari harus datang ke posko yang agak jauh lokasinya hanya sekedar mendapatkan jatah karena sebagai pengungsi.
Begitu juga cerita yang disampaikan oleh istri dari Pak Suroso, seorang operator eskavator untuk mengeruk pasir di tambang. Suaminya sampai sekarang belum diketemukan jasadnya karena eskavatornya terkubur hampir 12 meter dalamnya, hanya dompet tas dan KTP saja yang hanyut dan diketemukan oleh relawan. Entahlah, apa yang terjadi saat itu dengan suaminya.
Dan begitulah, segelumit cerita kami sebagai relawan yang terjun langsung bertemu dengan pengungsi korban erupsi Gunung Semeru. Akankah kita diam dan bergembira disaat mereka yang ada disana merenung dan bimbang atas kondisinya?!?